Senin, 22 Maret 2010

kisah....



Surat untuk Umi... Tercinta…

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji syukur sepatutnya kita panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan kita nikmat yang luar biasa sehingga saat ini kita di berikan ke istiqomahan di jalanNya, sholawat serta salam kita haturkan kepada uswah kita, Rosululloh saw. Semoga kita mendapatkan syafaat dari beliau di hari akhir (amin ya Robbal’alamin).

Umi yang di berkahi Alloh…
ana ingin mengungkapkan isi hati ana keumi. Sudah lama rasanya ana ingin ‘curhat’ ke umi. Tapi ana rasa setiap kali ana ingin curhat, waktunya tidak tepat. Akhirnya ana putuskan melalui surat yang insyaAlloh cara lain yang terbaik untuk mengungkapkan isi hati ana. ana sudah menganggap bahwa umi adalah orangtua kedua ana selain orangtua dirumah, sebagai murobbiyah yang senantiasa dengan ikhlas memberikan ilmu dan pengalamannya berupa tarbiyah yang dilakukan tiap pekannya.
Oleh sebab itu, ana tidak ingin ada lagi hal yang mengganjal, atau yang menutup-nutupi mengenai perasaan ana saat ini.

Umi yang ana sayangi karena Alloh..
Mengenai, ta’aruf dengan akhi..., ana sudah berusaha meminta petunjuk dari Alloh SWT untuk memberikan keyakinan mengenai keputusan besar yaitu ke arah membangun dan membina keluarga. Akan tetapi sampai saat ini, keyakinan itu belum jua datang. Disisi lain ana juga belum tau mengenai kesehatan akhi... mengenai pemeriksaan fungsi hatinya. Mi, dalam memilih pendamping hidup harus dilakukan dengan kesadaran dan penerimaan yang utuh, tanpa keterpaksaan.


Umi yang di rahmati Alloh…
Ada satu permasalahan lagi yang ana rasa ini amat penting untuk ana ungkapkan ke umi. Dalam perasaan ana, ternyata ana telah ada kecenderungan hati dengan seorang ikhwan bernama .... Mungkin umi mengetahui hal ini kaget atau tidak menyukai, karena tidak sepantasnya kader da’wah seperti ini. Tetapi ana pernah baca di buku ‘Di Jalan Da’wah Aku Menikah’ karangan Cahyadi Takariawan bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadist mengenai perempuan yang menawarkan dirinya kepada Nabi saw. Menjelaskan: “Dan wanita yang menginginkan menikah dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukannya dari dirinya tidak tercela sama sekali. Lebih-lebih jika terdapat tujuan yang benar dan maksud yang baik, seperti kelebihan agama laki-laki yang dipinangnya, atau karena ia cinta kepada laki-laki itu yang apabila didiamkan akan terjatuh ke dalam hal-hal yang terlarang.”
Ungkapan Al Hafizh Ibnu Hajar di atas menunjukkan diakuinya perasaan ketertarikan atau kecenderungan hati sebelum pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah memberikan ulasan, “Sesungguhnya cinta laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan manusiawi, yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan terhadap lawan jenis ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisik. Kecenderungan ini beserta hal-hal yang mengikuti berupa cinta pada dasarnya bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian itu tergantung pada bingkai tempat bertolaknya.”
“Ada bingkai yang suci dan halal, dan ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta itu adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan, jika tujuannya adalah menikah. Artinya, yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup, jika demikian maka alangkah bagus tujuan ini,” demikian Abu Syuqqah mengatakan.
Mi, itu yang ana baca, mungkin umi sudah lebih fahim mengenai hal ini. Mi, ana jadi teringat ungkapan umi di ‘lq’ mengenai sholat istikhoroh, umi bilang percuma kalo sholat istikhoroh itu bila sudah ada kecenderungan hati, dan kita pun bisa tau hasil akhirnya karena kita yang memiliki perasaan itu sendiri. Tapi, terlepas dari ungkapan umi itu, pada saat ana melakukan proses ini, ana sudah berusaha menetralisir perasaan ana.

Umi,
Demi Alloh mi, saat ini ana sedang berusaha untuk menetralisir perasaa terhadap ikhwan tersebut. Apalagi saat umi umi memanggil ana kerumah umi, disitu umi tabayun dan memberikan tausiyah yang sangat mengena. Umi, taukah umi pada saat umi membacakan salah satu ayat dari surat Asy Syams ayat 8: "Jalan mana yang mau anti tempuh? Jalan ke aerah fujur atau jalan ke arah ketaqwaan??" saat iut, hati ana sangat bergetar, sampai-sampai ana tidak kuat untuk menahan air mata ini. Mi, ana selalu berdoa kepada Alloh SWT untuk di beri petunjuk ke jalan ketaqwaan. Di beri keistiqomahan di jalan yang diRidhoi Alloh. Saat itu ana benar-benar bertekad untuk bisa menetralisir perasaan ana dan memohon petunjuk Alloh karena saat itu tepat di bulan yang penuh berkah yaitu bulan Ramadhan. Yang pada akhirnya mendapat keputusan bulat yaitu, ana tidak bisa melanjutkan proses ini lagi mi...

Umi yang di berkahi Alloh....
Mungkin ana, salah satu mad'u yang banyak kekurangan dan ana belum begitu dekat dengan umi. Ana merasakan belum dekat dengan umi karena mungkin ana jarang berinteraksi kecuali ada pertemuan pekanan. Selain hari LQ, kita jarang berinteraksi. Ana sadar, seharusnya ana yang banyak bersilaturahmi ke umi, tapi ana hanya berkesempatan melalui telepon atau sekedar SMS. Pas ana telepon, umi sedang sibuk karena kegiatan umi yang padat. Ana doakan semoga umi di permudah segala urusannya, Amin Ya Robb. Jadi kalo menambah repot umi dengan curhat ana semakin repot. Meskipun begitu anaselalu menghadirkan wajah umi di dalam doa robithoh ana selepas sholat fardhu, moga keterkaitan hati kita diperkuat oleh Alloh SWT. Mi, ana sangat berharap, umi tidak berubah dan marah kepada ana. Yang ana harapkan dari umi adalah umi bisa mendukung ana. Sampaikan maaf ana sebesar-besarnya ke Ustadz dan ikhwannya mi, terutama minta maaf ke umi. Afwan semuanya jadi seperti ini, tapi inilah keputusan ana mi..

Mi, saat ini ana sudah berusaha mengikhlaskan segalanya sama Alloh SWT,

Demikian mi, ungkapan tadi ana sampaikan, mi ana meyakini bahwa keterusterangan itu penting dalam risalah da’wah.
Semoga Alloh…memberikan solusi yang terbaik melalui umi, mi ana tau segala sesuatunya dalam memutuskan hal besar ini akan kembali kepada orang yang menjalaninya akan tetapi ana minta saran dan masukan dari umi sebagai murobbiyah ana.
Mudah-mudahan kita bisa saling menghargai cara pandang kita
Wallohu’alambishowab
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.


Mad’u umi

hamba Alloh yang dhoif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar