Kamis, 01 April 2010

Bunda di Kampung Pemulung


’’Pak, anak saya mati lagi, muntah darah….’’ Belum lama ini Sari mengabarkan lewat SMS. Yang dia sebut sebagai anaknya itu adalah seorang bocah pemulung di Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.



Di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Sari Wibowo memang menjadi bunda bagi puluhan anak setempat. Sapaannya, pelukannya, oleh-olehnya, senantiasa dirindukan para bocah. Mereka tak sungkan berebut memeluk sang bunda, walau itu membuat kusut jilbab bunda dengan cemong ingus dan bau sampah. Toh Sari enjoy aja.



Tak begitu saja Sari bisa enjoy membenamkan diri dalam kubangan kehidupan kampung pemulung. Kali pertama menginjakkan kaki di Bantar Gebang awal 2007, warga Perumahan Kemang Pratama Bekasi ini nyaris muntah.



" Jalan tanahnya becek, licin berlumur lumpur hitam. Belatung-belatung kecil bermunculan dari setiap jengkal tanah yang kulewati. Ratusan lalat ijo yang kekar-kekar menyerbu dari segala penjuru,’’ kenang Sari sambil tersenyum kecut.



Sekuat tenaga waktu itu Sari menahan mual. " Jangan sampai hamba muntah ya Allah, beri hamba kekuatan untuk mengabdi di sini,’’ batin Sari sambil terus meminum air kemasan yang dibawanya.



Kedatangan ibu muda yang klimis, tak urung mengundang curiga warga setempat. " Jangan-jangan dia menyelidiki untuk persiapan penggusuran’’ atau " Jangan-jangan dia meneliti untuk memindahkan TPA.’’



Namun, keibuan Sari lama-lama meluluhkan hati warga pemulung. Setelah beberapa kunjungan, ia mulai diterima. Kehadiran dan sepak terjangnya tidak dipertanyakan lagi. Bahkan disambut hangat.



Mushola yang terbengkelai di Kelurahan Sumur Batu, Sari hidupkan sebagai TPA (Taman Pendidikan Anak) Al Falah. Bermula dari beberapa bocah saja, santri Al Falah kini sudah menjadi 72 anak.



Itu yang masih tersisa hidup. " Beberapa anakku mati duluan. Ada yang karena makan baso kadaluwarsa, keracunan bangkai ayam, kena beling, muntaber, kurang makan….’’ Tangis Sari menghentikan kisah pilu bocah pemulung.



Karena mushola sudah over-kapasitas, mulai Oktober 2008 Sari memindahkan TPA ke rumah seorang warga dengan sewa Rp 3,5 juta per tahun. Ia juga menggaji 8 guru dari koceknya sendiri, yang besarnya Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per bulan. Mereka itu warga setempat juga.



" Saya pernah beberapa kali coba mengajak relawan mengajar di sini. Tapi semuanya tak mampu bertahan lama menghadapi bau dan lalat,’’ ungkap Sari, yang diback-up penuh oleh sang suami.



" Alhamdulillah, kini di Sumur Batu telah berdiri sebuah PAUD, TPQ dan Majelis Taklim Al Falah,’’ Sari bersyukur.



September 2007, Sari mulai menggarap Kelurahan Serang, Bantar Gebang, untuk membentengi aqidah warga pemulung. Maklum, di situ beroperasi sebuah yayasan diakonia, yang menjadikan sembako sebagai penukar iman.



Sekali lagi berkat rahmat Ilahi, kini di Serang telah berlangsung TPA yang membina 30-an santri. Sedangkan ibu-ibu tak lagi teriming-imingi sembako yayasan. Mereka memilih ngaji di Majelis Taklim bersama Bunda Sari.



Mulai tahun ajaran 2008-2009, Al Falah menyelenggarakan Kejar Paket A (Setara SD), Paket B (Setara SMP) dan Paket C (Setara SMU) untuk anak pemulung yang putus sekolah dan nganggur.



" Alhamdulillah, kini alumni PAUD Al Falah mengantongi ijazah dari Diknas. Tahun ini 12 murid Kejar Paket Al Falah mengikuti Ujian Nasional,’’ ujar Sari penuh haru.



Lebih dari itu, dia sudah survey ke beberapa pesantren di Bogor untuk menitipkan alumni Al Falah. Sari ingin mereka kelak menjadi bapak dan bunda bagi adik-adiknya di Bantar Gebang. " Anak pemulung boleh jadi ustadz kan?’’ tanya Bunda Sari.



Sumber: Dompet Dhuafa Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar